Musik sebagai penghibur tidak hanya senang didengar oleh kalangan
orang-orang tertentu saja bahkan anak-anak pun menjadi bagiannya. Anak-anak
memang lebih banyak menggunakan nyanyian-nyanyian sebagai sarana agar lebih
mudah dalam proses penangkapan belajar. Di taman kanak-kanak atau di kelompok
bermain pun bernyanyi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas
belajar mereka. Karena anak-anak memang identik dengan senang dan gembira. Lalu
apa jadinya jika musik-musik yang disajikan pada mereka kebanyakan hanya
bercerita tentang cinta-cintaan atau apapun yang sebenarnya belum cocok untuk
usia anak-anak. Anak-anak pun sesungguhnya punya hak untuk mendapatkan
kesenangan yang mereka inginkan hanya saja realitanya musik anak Indonesia
sudah mulai tergusur seiring berjalannya waktu.
Saat ini sudah mulai sulit didapati lagu anak-anak yang ada hanya
lagu-lagu orang dewasa. Ada
anak-anak yang menyanyi, tapi yang dinyanyikan bukan lagu anak-anak, melainkan
lagu-lagu orang dewasa. Saya ingat suatu kejadian diangkot sepulang saya dari
kuliah. Saat itu ada seorang anak kecil
pengamen mungkin seumuran kelas satu sekolah dasar. Ia menyanyi seperti
layaknya pengamen-pengamen kebanyakan yang dinyanyikan adalah lagu-lagu pop
tentang cinta anak-anak muda. Selesai ia menyanyi supir angkot berceletuk “Dek
nyanyinya tuh balonku, topi saya bundar,” kata sopir angkot. Si pengamen kecil
ini pun menjawab “Emangnya saya anak-anak”. Spontan penumpang satu angkot yang
cukup penuh itupun tertawa. “Lah emangnya kamu bukan anak-anak?” kata salah
seorang penumpang menambahi. Dia pun hanya tersenyum.
Lucu, sepertinya anak-anak pun mungkin merasa kehilangan identitas
dirinya sebagai anak-anak jika kenyataannya mereka selalu disuguhi yang bukan
seharusnya mereka dapatkan. Ibaratnya mereka saat ini dewasa sebelum waktunya.
Mereka menyimpan apa yang mereka peroleh dari lingkungan. Karena anak-anak
ibarat kain putih tergantung dengan warna apa kita mewarnai mereka. Jika anak
selalu dicekoki dengan lagu-lagu dangdut misal, bisa jadi ia akan selalu
menyanyikan lagu itu. Seperti kejadian pada anak tetangga dekat rumah, setiap
kali bermain ia pasti menyanyi lagu
dangdut, aku yang mendengarnya hanya senyum saja. Mungkin bagi orangtuanya itu
sebuah prestasi, seorang anak bisa dengan pandainya bernyanyi, pandainya sih
benar tapi isinya yang salah. Coba misalnya orangtua mengajarkan hafalan Al
Qur’an suatu hari kelak anak itu akan hafal 30 juz Al Qur’an. Biarkan anak
memilih yang seharusnya maka peran orangtua pun cukup penting disini, untuk
membentuk anak-anak mereka sesuai dengan pikiran dan karakter anak yang
seharusnya bukan karakter dari media yang tak sesuai.
Lagu anak-anak pun mempunyai peran penting untuk kembali hadir ke
permukaan menyemarakan lagu anak-anak kembali agar mereka punya medianya
tersendiri dalam mengeksplor bakatnya. Agar anak-anak tak lagi bingung dengan
identitasnya, dengan pilihan lagu favoritnya. Saya lebih senang abang
odong-odong yang lewat depan rumah menyetel lagu anak-anak daripada lagu
dangdut atau pop lainnya. Mereka jadi lebih tahu tentang keceriaan anak-anak
atau tentang keindahan ciptaanNya. Industri musik semoga bisa lebih bersemangat
untuk bisa mencetak penyanyi-penyanyi cilik yang memang bisa menjadikan lagu
anak-anak lebih blow up, yang perlu diingat lagu anak-anak bukan orang dewasa.
Saya pun begitu
merindukan lagu anak-anak seperti saat
dulu, lagu-lagu yang masih belum tercemar dan berisi tentang kepolosan
anak-anak. Mari bersama-sama para orangtua, teman-teman dari industri musik,
ataupun orang-orang yang memang mempunyai kepedulian terhadap perkembangan
anak-anak di masa depan, bangun anak-anak menjadi generasi yang cerdas dan
sesuai dengan karakternya.