Saya sering mengeluh. Satu dua,
ketelepasan mengeluh, bergegas menghela nafas, menyesal kenapa begitu mudahnya
keluar. Tiga empat, tidak sengaja mengeluh, tapi tidak menyesal, merasa baik2
saja, masa bodo. Lima enam, bahkan merasa berhak sekali untuk mengeluh,
sengaja ditunjukkan--termasuk seperti sengaja ditunjukkan pada yang maha
melihat.
Saya
sering mengeluh, jika hari-hari sejak saya lahir ditandai dengan contreng
merah, hingga detik ini, hari ini, maka rasa2nya tidak ada hari yang lolos dari
tanda merah. Itu berarti hampir setiap hari sy mengeluh. Mulai dari urusan
remah-remah, seperti sesuatu terlambat, menunggu, sesuatu tidak beres, sesuatu
tidak selesai, hingga urusan yang lebih serius macam kesehatan, keran rezeki,
kesempatan, takdir, dsbgnya. Jangan tanya tentang koneksi internet yang lelet,
cuaca panas, gerah, cuaca dingin, hujan, itu favorit keluhan. Trending topic
dunia soal mengeluh.Jika
hati saya sedang tenang, kalem. Berpikir lebih jernih, mengingat2 keluhan itu
rasa2nya seperti tidak percaya. Bagaimana mungkin? Bukankah kita semua tahu,
mengeluh tidak pernah menyelesaikan masalah. Itu mungkin benar, mengeluh bisa
menyalurkan ekspresi frustasi, konon katanya bisa membuat lebih lega, tapi
jelas itu bukan bentuk penyaluran yang positif. Karena sama seperti orang
marah, boleh jadi benar, nonjok orang di sebelah bisa membuat lega, marahnya
tersalurkan, tapi jelas, itu bukan bentuk penyaluran yang baik. Malah tambah
panjang.
Tapi kalau sudah paham mengeluh tdk menyelesaikan masalah, kenapa kok
masih saja mengeluh?Kalau
dipikir2 lebih jauh, bukankah semua orang benci dengan teman/tetangga/saudara
yang suka mengeluh. Bete bahkan baru melihat mukanya, tuh si tukang ngeluh
datang. Tapi kenapa, kita yg benci pengeluh, juga suka mengeluh? Urusan ini
kenapa jadi membingungkan sekali. Bukankah kita menyadari betul bahwa di luar sana , boleh jadi ada orang yg lebih susah, sulit, tapi mereka
baik2 saja, tidak mengeluh. Dan sebaliknya bukankah, di luar sana , ada orang2 yg justeru kita inginkan posisinya (lebih
sukses, lebih kaya, lbh baik), ternyata juga tetap mengeluh. Lantas kenapa kita
mengeluh utk mencapai posisi mereka hanya utk kemudian mengeluh lagi. Kita
semua tahu itu. Tapi kenapa tetap mengeluh? Aduh, rumitnya.
Sayangnya,
saya tidak tahu banyak jawaban atas kebiasaan mengeluh.Saya
juga berada satu gerbong besar bersama orang2 yg suka mengeluh. Maka semoga,
gerbong saya ini menuju ke arah yg lebih baik, berisi penumpang, yaitu orang2
yg berusaha utk setiap hari memerangi kebiasaan mengeluh. Setiap hari terus
berlatih sungguh2 menghilangkan kebiasaan tersebut. Menyenangkan berada di
gerbong belajar yg sama, karena jika kita lupa, ketelepasan, ada yg buru2
mengingatkan. Atau dalam titik ekstrem, jika kita merasa berhak mengeluh,
berusaha menunjukkan keluhan betapa susahnya hidup kita, maka ada teman yg
buru2 menasehati sambil tersenyum.Mungkin,
hanya dengan cara itulah kita bisa mengalahkan tabiat mengeluh.
By : Darwis Tere Liye